Met datang saudaraku,bagaimana kabar imanmu hari ini...? Salam santun dariku,sehat selalu itu doaku.
Kisah Penjual Bakso
Ini adalah cerita lalu yang sempat
populer di milis-milis ataupun
dikalangan blogger pada akhir
tahun 2008 dan awal tahun 2009
silam. Sengaja saya salin kembali,
karena saya pikir banyak hikmah
dibalik kisahnya ...
Di suatu senja sepulang kantor,
saya masih berkesempatan untuk
ngurus tanaman di depan rumah,
sambil memperhatikan beberapa
anak asuh yang sedang belajar
menggambar peta, juga
mewarnai. Hujan rintik - rintik
selalu menyertai di setiap sore di
musim hujan ini.
Di kala tangan
sedikit berlumuran tanah
kotor,.. .terdengar suara tek...
tekk.. .tek... suara tukang bakso
dorong lewat.
Sambil menyeka keringat..., ku
hentikan tukang bakso itu dan
memesan beberapa mangkok
bakso setelah menanyakan anak-
anak, siapa yang mau bakso ?
"Mauuuuuuuuu...", secara
serempak dan kompak anak-anak
asuhku menjawab.
Selesai makan bakso, lalu saya
membayarnya... Ada satu hal yang
menggelitik fikiranku selama ini
ketika saya membayarnya, si
tukang bakso memisahkan uang
yang diterimanya. Yang satu
disimpan dilaci, yang satu ke
dompet, yang lainnya ke kaleng
bekas kue semacam kencleng.
Lalu aku bertanya atas rasa
penasaranku selama ini.
"Mang kalo boleh tahu, kenapa
uang-uang itu Emang pisahkan ?
Barangkali ada tujuan ?"
"Iya pak, Emang sudah
memisahkan uang ini selama jadi
tukang bakso yang sudah
berlangsung hampir 17 tahun.
Tujuannya sederhana saja, Emang
hanya ingin memisahkan mana
yang menjadi hak Emang, mana
yang menjadi hak Orang lain /
tempat ibadah, dan mana yang
menjadi hak cita-cita
penyempurnaan iman".
"Maksudnya...?", saya melanjutkan
bertanya.
"Iya Pak, kan agama dan Tuhan
menganjurkan kita agar bisa
berbagi dengan sesama. Emang
membagi 3, dengan pembagian
sebagai berikut :
1. Uang yang masuk ke dompet,
artinya untuk memenuhi
keperluan hidup sehari-hari
Emang dan keluarga.
2. Uang yang masuk ke laci,
artinya untuk infaq/sedekah, atau
untuk melaksanakan ibadah
Qurban. Dan alhamdulillah selama
17 tahun menjadi tukang bakso,
Emang selalu ikut qurban seekor
kambing, meskipun kambingnya
yang ukuran sedang saja.
3. Uang yang masuk ke kencleng,
karena emang ingin
menyempurnakan agama yang
Emang pegang yaitu Islam. Islam
mewajibkan kepada umatnya
yang mampu,untuk melaksanakan
ibadah haji. Ibadah haji ini tentu
butuh biaya yang besar. Maka
Emang berdiskusi dengan istri
dan istri menyetujui bahwa
disetiap penghasilan harian hasil
jualan bakso ini, Emang harus
menyisihkan sebagian
penghasilan sebagai tabungan
haji. Dan insya Allah selama 17
tahun menabung, sekitar 2 tahun
lagi Emang dan istri akan
melaksanakan ibadah haji.
Hatiku sangat...sangat tersentuh
mendengar jawaban itu.
Sungguh sebuah jawaban
sederhana yang sangat mulia.
Bahkan mungkin kita yang
memiliki nasib sedikit lebih baik
dari si Emang tukang bakso
tersebut, belum tentu memiliki
fikiran dan rencana indah dalam
hidup seperti itu. Dan seringkali
berlindung di balik tidak mampu
atau belum ada rejeki.
Lantas saya
melanjutkan sedikit pertanyaan,
sebagai berikut :"Iya memang
bagus..., tapi kan ibadah haji itu
hanya diwajibkan bagi yang
mampu, termasuk memiliki
kemampuan dalam biaya...".
Lalu Emang menjawab,"Itulah sebabnya
Pak. Emang justru malu kalau
bicara soal mampu atau tidak
mampu ini. Karena definisi
mampu bukan hak pak RT
ataupak RW, bukan hak pak Camat
ataupun MUI.
Definisi"mampu"adalah sebuah
definisi dimana kita diberi
kebebasan untuk
mendefinisikannya sendiri. Kalau
kita mendefinisikan diri sendiri
sebagai orang tidak mampu,
maka mungkin selamanya kita
akan menjadi manusia tidak
mampu. Sebaliknya kalau kita
mendefinisikan diri
sendiri,"mampu", maka insya Allah
dengan segala kekuasaan dan
kewenangannya Allah akan
memberi kemampuan pada kita".
"Masya Allah..., sebuah jawaban
elegan dari seorang tukang
bakso".
Sahabat... Cerita ini sangat
sederhana. Semoga memberi
hikmah terbaik bagi kehidupan
kita. Amin